Breaking News
YouGep Reloads All Operator Pulsa

Thursday 10 October 2013

Cerpen : Ketika Kemarin Memudar Part II



Silahkan Berdonasi Dengan Meng-Klik Banner Di Bawah ini :
Satu Klik Anda Sangat Berguna Sekali Demi Kemajuan Blog Ini


 Ketika Kemarin Memudar Part II
***
Aku nyaris tak berkedip menatap layar laptopku. Dan sejurus kemudian, sebuah senyum kelegaan, bercampur kebahagiaan dan kebanggaan tak terkira terpeta di bibirku.
Psikologi, UGM. Ya, aku lolos !
“Mama..aku ke UGM ma !!” teriakku masih enggan bangkit dari depan laptopku, masih ingin menatap pengumuman itu. Meski hanya sebaris kalimat. Namun kalimat yang membuncahkan sejuta kebahagiaan dalam hati.
“Drrtt..drrrttt...”
“Halo, gimana Fy ?” suara Alvin langsung menyapaku. Bisa ku tebak, ia juga sedang mendapatkan berita terbaiknya.
“UGM Vin, gue ke jogja..kampus biru hahaha..”
“Congrats yaa..”
“Makasih Alvin...lo sendiri gimana ?”
“Menurut lo gimana ?”
“Pasti lolos, iyakan ?”
“Hehehe..temen lo jadi calon dokter gigi nih Fy”
“Ahh Alvin, selamat ya selamat !! asik deh, entar gue bisa periksa gigi gratis..haha..”
“Woo..eh, ntar malem ada acara enggak ?”
“Enggak, kenapa ?”
“Entar gue ke rumah lo ya ?”
“Oke, gue tunggu, jam berapa ?”
“Jam tujuh mungkin, ya udah deh, sekali lagi selamat ya, awas jangan ikutan stres sama pasien lo entar..hahaha..”
“Si...”
Klik. Belum sempat aku membalas kata-katanya, Alvin telah terlanjur menutup telponnya. Hah, rasanya kebahagianku menjadi tambah berlipat ganda. Dan sekarang, aku malah menjadi mengira-ngira, untuk apa ya Alvin datang ke rumahku nanti malam. Adakah hal yang ingin ia sampaikan ?
Ahh, aku jadi penasaran.
*
Dan ia berdiri di hadapanku sekarang, terlambat dari waktu yang ia bilang. Ini sudah jam sembilan malam, sudah sejak dua jam lalu aku menunggunya, ia datang dengan wajahnya yang babak belur. Tanpa perlu bertanya, aku juga mengerti, apa yang terjadi dengannya.
Tiga tahun bersahabat. Dan satu tahun duduk bersama, membuat aku sangat mengerti dengan apa yang sering Alvin alami.
“Ada apa Vin ?”
Dia tersenyum lirih ke arahku. Hanya tersenyum di tempatnya, tanpa melanjutkan langkahnya. Dia berhenti, dan akhirnya aku yang maju. Menujunya yang berdiri di halaman rumahku.
“Vin, ada yang bisa aku bantu ?”
Ia langsung memelukku. Untuk alasan yang aku mengerti tapi tidak ku ketahui sepenuhnya. Aku melingkarkan tanganku di punggungnya, menepuk-nepuknya, mencoba menghibur speerti layaknya seorang sahabat.
Untuk beberapa saat, kami menelan waktu dalam pelukan ini. Tidak peduli pada ketukan detik yang terpacu cepat. Tangan Alvin semakin memelukku erat. Aku sama sekali tidak memberontak atau risih karenanya. Aku ingin menjadi orang yang menenangkannya, dan itu aku sekarang.
Nada-nada alam dari ketukan air yang menyentuh tanah dalam hujan yang tiba-tiba, mengguyur kami, yang tetap saja, saling berpelukan satu sama lain.
Tubuhku mulai basah, rasa dingin mulai merasukiku. Tapi aku benar-benar tidak ada niatan untuk meminta Alvin melepaskan pelukannya. Ada yang bergetar dalam hati ini, sesuatu yang tidak aku kenal, sesuatu yang baru namun terasa begitu nyata. Teduh dan hangat, bahkan meski gemericik hujan semakin deras tertumpah dari langit nan membentang.
Apa yang terjadi padaku ?
“Fy..” untuk pertama kalinya, sejak kedatangannya, akhirnya bibir itu terbuka.
“Ya ?”
“Gue sayang sama lo..”
*
Hiruk pikuk yang terjadi di stasiun ini, sama sekali tidak menyurutkan air mataku untuk mengalir sederas-derasnya. Tinggal dua puluh menit lagi, sebelum kereta dengan gerbong abu-abunya itu akan membawa tubuhku ke Jogja, kota dimana aku akan menapaki langkah baruku.
“Fy..” Shilla terisak di hadapanku, membuat aku juga terus menangis.
“Ahh Shilla..jangan bikin gue berat dong..” aku kembali memeluk sahabatku itu. Ternyata berpisah tak semudah kelihatannya.
Sahabat adalah kepingan jiwa, terasa seperti mati rasa ketika harus meninggalkannya.
“Fy, take care ya..” ujar Rio tersenyum ke arahku, dan menepuk kepalaku pelan. Aku hanya bisa mengangguk. Ada yang lebih menyakitkan dari perpisahan sementara ini. Ketidak hadirannya.
Alvin, entahlah ada dimana ia saat ini.
“Alvin marah ya Yo sama gue, karena gue nolak dia ?” tanyaku pelan, tidak melihat Rio, melainkan melihat ke arah pintu masuk stasiun, berharap dapat menemukan sosoknya sedang berjalan ke arahku.
“Gue juga enggak tahu, gue juga enggak bisa ngehubungin dia dari tadi pagi, tapi gue rasa Alvin enggak akan marah sama lo..”
“Tapi dia enggak datang sekarang..” desahku, yang entah mengapa harus kecewa.
“Fy, ayo naik, sebentar lagi keretanya berangkat..” mama mengingatkanku. Aku menghela nafas, ingin menahan waktu, dan menunggu Alvin untuk datang, meski itu tidak mungkin bisa.
Masih dengan air mata berurai, aku memeluk Shilla lagi, hanya saja lebih singkat kali ini, memeluk Rio, dan kemudian berbalik mengikuti mama yang berjalan di depanku. Sebelum naik, lagi-lagi aku menyempatkan diri untuk menoleh ke titik itu, tempat yang aku pandang dengan bias harap bercampur nanar. Ia tetap tidak hadir, sama sekali tidak.
“Nanti kan kalau liburan kamu juga bakalan pulang Fy, udah ah nangisnya..” tegur mama, setengah menasihati. Aku hanya tersenyum.
Kereta mulai berjalan. Perlahan, meninggalkan kota ini, meninggalkan gedung-gedung beton pencakar langit yang sering ku lihat setiap hari. Meninggalkan semuanya.
Dan ia tetap tak nampak. Menghilang. Benar-benar menghilang.
***
Reflek, aku langsung menghapus setitik air mata yang jatuh tanpa kendaliku. Mengingat tentangnya selalu membuatku seperti ini. Aku berdiri dari bangku, yang dulu merupakan bangkuku, untuk sekejap, aku menoleh menatap kursi kosong yang ada tepat di samping kananku. Tempatnya dulu duduk.
Alvin, ada dimana kamu ?
Ya, tiga tahun berlalu, dan aku tetap tidak mengetahuinya. Dan sepertinya memang tidak ada yang mengetahuinya. Rumahnya pindah. Nomornya tidak lagi aktif, sehari setelah keberangkatanku ke Jogja waktu itu.  Ia lenyap, tak bersisa.
Dan aku ?
Yang terlalu bodoh ini. Baru menyadari satu hal. Aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Tidak ingin terlalu lama ada disini, aku buru-buru beranjak pergi. Lagipula, aku telah membuat janji dengan Rio dan Shilla untuk makan siang bersama.
Di sebuah kafe, di bilangan tebet. Aku menunggu kehadiran mereka berdua. Sesaat ku amati sekelilingku, semua telah berubah. Kota ini berubah terlalu banyak. Dan sayangnya aku tidak di ajak serta dalam perubahan itu. Aku terbenam dalam cerita masa lalu yang aku sesali.
Hidup itu pilihan, termasuk juga sebuah penyesalan.
“IFY !!..ahhh gue kangen !” Shilla langsung menghambur, memelukku, sementara Rio berjalan di belakangnya.
“Gue juga !! haha..liburan semester kemarin gue juga balik ya..”
“Hei Yo, lo tambah item aja ..haha..” sambungku, sambil menjabat erat tangan Rio.
“Iya nih, gue abis pkl Fy..”
“Kemana ?”
“Chevron di Minas..”
“Sumpah lo bisa pkl disana ? ahh keren banget ! ehem..sahabat gue mau jadi tukang minyak, entar kalau udah tajir jangan lupa sama gue, oke..”
Rio dan Shilla hanya terkekeh menyaksikkan tingkahku. Dua sahabatku ini, bisa dibilang adalah contoh pasangan yang wajib ditiru, berpacaran sejak kelas dua sma, berlanjut hingga kuliah sekarang meski tol cipularang memisahkan mereka, namun keduanya tetap saja bisa menjaga kekompakkan untuk menjaga hubungan mereka.
Dan layaknya sebuah persahabatan, kami bertiga mulai asik menceritakan setiap detail pengalaman yang telah kami lalui, apapun itu. Meski terasa ada yang kurang, karena ia tidak ada disini.
Alvin, bisakah kamu kembali ?
“Yo..elo beneran enggak tahu, Alvin ada dimana ?” tanyaku pelan. Setiap bertemu, aku selalu menanyakan ini. Dan bisa saja kan, Rio mulai jengah dengan sikapku ini.
“Fy..gue sama Rio selalu berusaha buat nyari keberadaannya Alvin, kita juga mau ketemu sama dia, tapi ya kaya yang lo lihat, dia enggak meninggalkan jejak sedikitpun buat kita lacak..” Shillalah yang menjawab pertanyaanku. Dan aku hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.
Ia seperti menyatu dengan udara, yang menghilang tanpa jejak, tapi ke alpaannya begitu hebat terasa.
***
Seminggu terakhir, sebelum aku kembali ke Jogja. Rio sudah kembali ke Bandung dan Shilla sedang ada acara di kampusnya. Tidak ada kerjaan di rumah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan, sekedar menyegarkan mata.
Aku memasuki sebuah mall di jantung ibu kota, gedungnya yang unik, seperti balok-balok kotak yang miring serta warna dindingnya yang begitu ceria dan berwarna-warni. Berjalan sendirian tanpa tujuan, membuatku hanya mengelilingi tempat ini tanpa jeda.
Hingga langkahku terhenti, dan tubuhku bergetar hebat.
Aku melihatnya. Dan aku yakin itu dia.
Alvin.
Tanpa mengulur waktu, aku mengejarnya, membiarkan wedgesku menghentak lantai dengan brutal. Tak menghiraukan orang-orang lain yang menatapku bingung.
“Alvin..” dan tanpa malu-malu, aku mencekal pergelangan orang itu. Membuatnya menoleh ke arahku.
“Ya..”
“Vin, ini aku, Ify..”
Dia tersenyum, sesuatu yang membuatku tambah yakin bahwa ini dirinya. “Maaf, tapi gue enggak kenal sama lo..”
Aku membeku. Ku lepaskan tanganku dari tangannya, aku berjalan mundur, tubuhku serasa limbung. Hingga akhirnya tanpa aku sadar, aku menabrak orang lain di belakangku. Dan aku terpaku, menatapnya. Suara keramaian yang tadi sangat nyata, kini malah seperti dengungan memekakkan telinga. Aku merasa sendiri, dan sama sekali tidak mengerti.
***
Entah sudah untuk keberapa kalinya. Aku kembali mengamati wajah laki-laki di depanku ini lekat-lekat. Berjuta-juta persen, aku yakin ia Alvin, dan ia memang Alvin, ia mengaku itu. Tapi bukan Alvinku, ia tidak mengenaliku. Dan aku tidak mengerti kenapa.
“Kamu beneran enggak kenal sama aku ?” tanyaku lagi. Lebih dari yang kesepuluh kalinya.
“Harus gue jawab berapa kali sih, gue sama sekali enggak kenal sama elo, maaf..”
Aku tersenyum lirih. Entah untuk alasan bodoh macam apa, tapi aku memintanya untuk duduk bersamaku di sebuah restaurant. Aku masih tidak percaya, sama sekali tidak percaya. Aku rasa hanya ada satu Alvin, dan itu Alvinku.
“Tapi lo perlu tahu satu, gue ini seorang penderita amnesia..”
“Vin..”
“Dan gue enggak ada niatan sama sekali, untuk minta ingatan gue kembali lagi”
Seperti ada Zeus yang sedang menghunuskan petirnya ke dadaku, aku tidak bisa berkata-kata untuk apapun. Mati rasa. Tidak mengerti, mengapa orang yang sekian tahun ini ingin aku temui, terasa begitu berbeda dan tidak aku kenali, bahkan tidak mengenaliku.
“Ke..kenapa..?” tanyaku terbata.
“Kata beberapa orang, masa lalu gue enggak begitu bahagia, gue seorang anak broken home yang sering di hajar sama bokap gue sendiri. Tapi sekarang, gue udah tinggal sama nyokap, gue lebih bahagia di kehidupan kedua gue ini..itu sebabnya gue enggak mau tahu tentang yang dulu..”
“Tapi aku sahabat kamu di masa lalu, aku sayang sama kamu” ujarku lirih, sambil menunduk, tidak berani menatapnya, tidak ingin menangis di depan orang asing yang benar-benar tidak aku kenali sama sekali.
“Maaf kalau gue ngecewain lo, tapi ini pilihan gue. Dan kalau apa yang lo bilang tadi benar, kalau kita memang sahabat, ada baiknya, elo nerima keputusan gue..”
Aku mengangkat wajahku, menghapus air mata yang terlanjur menetes, dan menatapnya. “Hai Alvin, boleh kita kenalan ? aku Ify..” sambil tersenyum, aku mengulurkan tanganku.
“Boleh..gue Alvin..” balasnya sambil tersenyum juga, dan menerima uluran tanganku.
Dan kehangatan tangannya masih sama seperti dulu.
Seperti dulu.
*** bersambung ke
Karya & Sumber : Jejak-jejak Pena
Dilarang keras menyebarluaskan artikel ini tanpa mencamtukan sumbernya dan tanpa seizin penulis, bila melanggar akan dijerat Undang-Undang ITE yang berlaku.

Jika ingin bertukar link, silahkan copy paste link artikel ini dan pasang di blog anda kemudian beri komentar dibawah dengan mencantumkan link dimana anda menaruh link kami atau sms saja ke nomor admin 082313667111.

Dan apabila anda merasa artikel ini bermanfaat untuk anda berdonasilah demi kemajuan blog ini dengan meng-KLIK setiap iklan yang ada di bawah ini.

Satu KLIK anda merupakan wujuad apresiasi anda kepada blogger nusantara


No comments:

Post a Comment

Designed By SEO Blogger Template Modify by SOB Design